USAHA TERNAK ENTOK “si genit penghasil daging ”

  1. Prospectus ternak entok yang menjanjikan

Entok (jawa =mentok) di wilayah pedesaan sangat dikenal karena merupakan unggas penghasil daging yang sangat genit saat berjalan, bahkan di daerah jawa tengah dan jawa timur masyarakatnya tidak asing dengan nyanyian “mentok , mentok tak kandani kok mlakumu angisin-ngisini “ (jawa= Entok, entok saya beritahu kenapa jalanmu memalukan).

Potensi entok atau yang lebih dikenal dengan itik Manila dalam pemenuhan daging dan telur unggas selain ayam belum banyak diungkap.  Namun keberadaannya dipedesaan sudah sangat familiar bagi para petani ternak, terutama saat lebaran atau hajatan orang sudah mulai berkecenderungan mencari entok jantan untuk dibuat opor atau digoreng.  Satu ekor entok jantan yang berbobot 2,8 -3 kg dapat dibeli dengan harga lebih murah dibanding harga ayam dengan bobot yang sama.  Daging entok berwarna lebih merah gelap, serat agak lebih besar namun rasanya tidak jauh berbeda dengan daging ayam oleh karena itu  masyarakat mulai cenderung memilih daging entok dibanding ayam.

Peluang beternak Entok masih terbuka lebar, mengingat pertumbuhan entok yang cepat dan potensi sumber daya alam Indonesia sangat mendukung ketersediaan berbagai aneka sumber bahan pakan.  Indonesia sebagai Negara agraris sekaligus maritim yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan dan alamnya menyediakan bahan pakan yang harganya relatif murah, seperti hasil samping produk pertanian dan sisa olahan ikan atau produk laut, seperti dedak, onggok, organ dalam ikan , kepala ikan dan lain-lainnya yang merupakan limbah tetapi masih bisa dimanfaatkan sebagai pakan entok.  Entok, merupakan ternak unggas yang dapat hidup normal walaupun diberi pakan seadanya dan dipelihara secara tradisioanal /diumbar.

Potensi untuk mengembangkan Entok sangat terbuka, jika dilihat dari data total rumah tangga di Indonesia sebesar 52,9 juta, dimana 25 juta merupakan rumah tangga pertanian.  Dari jumlah rumah tangga pertanian tersebut 60,9 % merupakan rumah tangga peternakan, dimana 98%nya merupakan unggas lokal.   Dengan demikian masalah penyediaan bibit dapat teratasi dan tidak perlu impor hanya perlu memperbaiki cara pemeliharaan dan keberlangsungan usahanya.  Selain itu mengembangkan Entok juga akan menyerap banyak tenaga kerja dan penyediaan protein hewani yang tersedia bagi keluarga.

Di negara Taiwan, entok dipelihara untuk menghasilkan daging dan telur, karena entok mampu menghasilkan daging yang lebih cepat dibandingkan dengan ternak besar (Tai, 1986). Di Indonesia,masyarakat sebenarnya sejak lama sudah mengenal ternak entok, bahkan telah menyatu dengan kehidupan mereka sehari-hari, namun daging dan telurnya kalah populer dibandingkan dengan ternak ayam.  Entok selama ini dipelihara oleh petani di pedesaan karena kemampuan mengerami telur ayam atau itik dalam jumlah banyak,mempunyai naluri keibuan yang tinggi dan entok tidak akan berhenti mengeram sebelum mendengar bunyi meri (anak entok umur sehari) bahkan tahan mengeram sampai dengan 8 kali (8 bulan).

Menurut Setioko et al. (2001) dan Dijaya (2003), usaha itik pedaging (termasuk entok) sebenarnya lebih menguntungkan dibanding ayam pedaging, karena pengelolaan lebih mudah dan praktis dengan teknologi sederhana, peluang pasar masih terbuka, belum banyak yang mengusahakannya dalam skala menengah hingga besar, tahan terhadap serangan penyakit, dan mortalitasnya antara 25%.Entok yang banyak dipelihara oleh para peternak asal usulnya dari negara Meksiko,Amerika Tengah dan Amerika selatan.  Didaerah asalnya entok hidup secara liar di rawa, danau dan sungai berhutan. Di Indonesia, tehnik pemeliharaan entok yang banyak dilakukan oleh peternak adalah secara tradisional, yaitu entok dilepas tanpa dikandangkan dan kebutuhan pakan dipenuhi dengan cara mencari sendiri di lingkungan sekitar tempat tinggal peternak.